Cerita Senja

Saat itu adalah musim bunga. Musim cinta dan keindahan. Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum manis.
Saya reguk segala cintanya...

Saya teringat puisi seorang penyair Palestin yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia dan lepas dari belenggu derita. Sambil menatap ke kaki langit Kukatakan padanya :

Di sana, di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai Subuh tiba
Bukan kerana ketiadaan kata-kata
Tetapi kerana kupu-kupa kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku, besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan kita akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung
***

Yah, saya pun memimpikan yang demikian. Ingin rasanya istirehat dari nestapa dan derita. Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah berkeras untuk masuk program Magister bersama. Gila! Idea gila! Fikirku saat itu. Bagaimana tidak. Ini adalah saat yang paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai doktor di Negara teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tak berperasaan. Tetapi isteri saya malah terfikir untuk meraih Magister.

Saya pujuk dia untuk menghentikan niatnya. Tapi dia tetap berkeras untuk meraih Magister dan menjawab dengan logik yang tak kuasa saya tolak:
“Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan dan mendapat tawaran dari fakulti sehingga akan memperolehi keringanan dalam pembiayaan, kita harus bersabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan. Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita reguk sumsum penderitaan ini, kita sempurnakan prestasi akademik kita, dan kita wujudkan mimpi indah kita.”

Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad membaja isteriku,hatiku pun luruh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwanya. Jadilah kami berdua masuk program Magister. Dan mulailah kami memasuki hidup baru yang lebih menderita. Kemasukan hanya cukup-cukup untuk hidup, sementara keperluan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktikal, buku dan lain-lain. Nyaris kami hidup seperti kaum sufi. Makan hanya dengan roti isy dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam-malam kami lalui bersama dengan perut lapar, teman setia kami adalah air paip. Ya, air paip. Masih terakam
dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama pada suatu malam sampai didera rasa lapar tak terkira, kami ubati dengan air. Yang terjadi, kami malah muntahmuntah.

Terpaksa wang untuk beli buku kami ambil untuk beli pengisi perut. Siang hari, jangan tanya, kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.

Meski sedemikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikit pun. Tidak pernah saya melihat isteri saya mengeluh,menangis, sedih atau pun marah kerana suatu sebab. Kalaupun dia menangis itu bukan menyesali nasibnya, tetapi dia lebih merasa kasihan pada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah dengan selera high class,tiba-tiba harus hidup sengsara seperti pengemis. Dan sebaliknya saya juga merasa kasihan melihat keadaan dia, dia yang asalnya hidup selesa dan makmur dengan keluarganya harus hidup menderita di rumah sewa yang buruk dan makan ala kadarnya. Timbal balik perasaan ini ternyata menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak mampu lagi melukiskan rasa sayang,penghormatan dan cinta yang mendalam padanya.

Setiap kali saya mengangkat kepala dari buku, yang nampak di depan saya adalah wajah isteri yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya itu. Merasa diperhatikan, dia akan mengangkat pandangannya dari buku, dan menatap saya penuh cinta dan senyumannya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan ini terlupakan semua. Rasanya kamilah orang paling berbahagia di dunia. “Allah menyertai orang-orang yang sabar, Sayang!” bisiknya mesra sambil tersenyum. Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.

Allah Maha Penyayang. Usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelaran Master dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya dua tahun saja. Namun kami belum keluar dari derita. Setelah meraih Master pun kami masih mengecap hidup susah, tidur di atas tilam nipis dan tidak ada istilah makan enak dalam hidup kami. Sampai akhirnya, rahmat Allah datang jua. Setelah usaha keras, kami berjaya menandatangani kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untuk pertama kalinya setelah lima tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah. Kami rasakan kembali tidur di atas tilam empuk. Kami kenal kembali makanan lazat setelah kami tinggal sekian tahun. Dua tahun setelah itu kami pun dapat membeli villa bertingkat dua di Heliopolis, Cairo. Sebenarnya saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang sesuai.

Tetapi isteriku memang “gila”. Ia kembali mengeluarkan idea gila, iaitu idea untuk
melanjutkan program doktor spesialis di London, juga dengan alasan logik yang susah
saya tolak:
“Kita doktor yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui dan kita kini memiliki wang yang cukup untuk mengambil doktor di London. Setelah bertahun-tahun kita hidup di lorong buruk dan kotor, tak ada salahnya kita raih sekalian tahap akademik tertinggi sambil merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan.”
Ku cium kening isteriku, bismillah kita ke London. Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berjaya meraih gelaran doktor dari London. Saya spesialis saraf dan isteri saya spesialis jantung. Setelah memperoleh gelaran doktor spesialis, kami menandatangani kontrak kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai doktor ahli sekaligus direktor rumah sakitnya dan isteri saya sebagai wakilnya. Kami juga mengajar di Universiti. Kami pun dikurniai seorang puteri yang cantik dan cerdas. Saya namakan dia dengan nama isteri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan-kebajikan.

Lima tahun setelah itu kami kembali ke Cairo setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana seorang raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari sembilan tahun hidup menderita, melarat dan sengsara. Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami pada Allah Subhanahuwa Ta’ala dan bertambahlah rasa cinta kami. Ini cerita nyata yang ingin saya sampaikan sebagai nasihat hidup...

Categories:

Leave a Reply

Mohon masukannya,, semoga bisa lebih membangun..
Terima Kasih...