Cerita Senja

Guru Marjuki (inisial) atau Guru Juki-kini makin dikenal di kalangan pengajar di Kabupaten Bekasi. Dia menjadi buah bibir semenjak ratusan murid Sekolah Dasar Negeri daerah Sukamekar. Bekasi, mogok belajar sejak Senin (8/11) karena menolak mutasi Guru Juki. Ratusan orangtua muridbahkan menggelar demo demi menentang pemindahan tugas tersebut.
...
...
Apa yang membuat warga Sukamekar begitu membelanya? Apakah karena perilaku Guru Juki telah benar-benar disebut sebagai pahlawan tanpa tanda Jasa? "Saya sendiri tidak tahu mengapa Justru warga yang menolak saya dimutasi. Apa yang saya kerjakan di sana sepertinya sudah selazimnya dikerjakan pengajar pada umumnya.

Selama sepuluh bulan bertugas di SDN Sukamekar, Marjuki selalu datang lebih pagi daripada para murid atau staf pengajar lainnya. Saat waktunya tiba bagi para murid masuk sekolah, lelaki lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Tambun tahun 1985 Ini sudah berdiri di gerbang sekolah. Dia menyambut kedatangan siswa-siswi dengan menyalaminya satu per satu. Hal itu mendapat apresiasi dari kalangan orangtua/wali murid yang mengantar anaknya ke sekolah.

Meski datang paling awal, ayah Uga anak ini selalu pulang paling akhir, malam hari, setelah seluruh staf pengajar meninggalkan sekolah. Pada sore hari, tak segan dia bercengkerama dengan penjaga sekolah, sekadar berbagi sebatang rokok, atau menyiram dan merawat puluhan tanaman di sekolah itu. Puluhan tanaman berbagai Jenis itu ditanam beramai-ramai oleh para siswa. Guru Juki sendiri memiliki dua batang pohon asem Jawa yang ditanam di dua pot besar. "Pohon asem itu seumuran dengan anak pertama saya. Dia sekarang berumur 21 tahun. Pohon itu selalu saya bawa di mana pun saya ditugaskan," tuturnya.
DI luar urusan tanaman. Marjuki memiliki kedekatan dengan para guru. Pada pekan pertama menjadi kepala sekolah, dia sudah mengajak para guru untuk sama-sama mencari tahutentang potensi sekolah melalui metode analisis SWOT [strength, weakness, oportunity, threat). Berangkat dari hasil analisis, mereka bertekad menjadikan sekolah itu berstandar nasional dalamjangka dua tahun.

Berkarakter dan bermartabat
Langkah demi langkah mereka susun demi pencapaian tujuan itu. Hingga pada bulan keenam kegiatan ekspo digelar di sekolah yang terletak di pedesaan, berjarak sekitar 30 kilometer dari Kota Bekasi, itu. Puluhan hasil kerajinan pelajar dipamerkan, ratusan foto kegiatan belajar-mengajar dan kegiatan lapangan dlpampang. Beberapa murid-mempertunjukkan kebolehannya dalam berbagai bidang, seperti menyanyi, berakting, bahkan merakit komputer.

Marjuki mengatakan, satu hal yang lebih penting dibanding status sekolah berstandar nasional adalah mendidik murid dengan mempraktikkan pembelajaranbermakna dan berkarakter. "Saya melakukannya dengan hal-hal yang kecil. Di setiap pertemuan diusahakan cara agar proses pembelajaran berkesan bagi siswa-siswi," tutur suami Tasirah (44) ini.

Proses pembelajaran, menurut Marjuki, bukanlah sekadar membuat murid cerdas akan pengetahuan, tapi Juga cerdas secara emosi dan perilaku. Menurut dia, bukan hanya nilai berupa angka yang menjadi ukuran keberhasilan pembelajaran, tapi Juga bagaimana agar nilai-nilai kebaikan yang ada bisa diserap sebagai sebuah sikap hidup. Jika sudah menjadi sikap hidup maka akan menjadi kebiasaan, dan setelah itu menjadi karakter dan budaya yang mewarnai peradaban. Marjuki memberi contoh, saat hendak menyampaikan pengetahuan tentang daun dan pepohonan, dia meminta siswa-siswi untuk mengumpulkan daun-daun yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Para murid dibagi per kelompok dan diminta menyebutkan Jenis serta fungsi daun-daun tersebut.

Di balik pembelajaran itu, dia menyelipkan pemahaman nilai-nilai dan makna kehidupan. Meskipun daun-daun itu berbeda Jenis, ukuran, dan warna maupun teksturnya, fungsinya sama yaitu untuk proses fotosln-tesis. Saat menjelaskan tentang dedaunan itu. dia berikan pemahaman bahwa tak hanya dedaunan yang berbeda, manusia pun berbeda warna kulit serta suku maupun adat-lstladatnya. Namun, fungsi mereka sama, yaitu sebagai makhluk yang berkewajiban menjaga kelangsungan hidup di Bumi. "Dari situ diharapkan siswa-siswi bisa menghargai perbedaan, sehingga mereka tak kaget dan merasa rendah diri saat bertemu orang dari suku lain ataupun bangsa lain," ujarnya.

Marjuki kembali memberi contoh, untuk membangkitkan semangat siswa-siswi di desa itu dia menggunakan medium pohon tekokak. pohon Har yang oleh sebagian orang dianggap gulma. Para murid kemudian diajari menyambung batang-ba-tang pohon tekokak Itu dengan tanaman tomat, leunca, dan terong. Setelah beberapa pekan berselang, pohon-pohon tekokak itu menghasilkan tiga Jenis buah tomat, terong, dan leunca. "Dari pohon tekokak itu saya bangkitkan semangat dan cita-cita anak-anak, bahwa status sebagai anak petani bukan merupakan penghalang untuk menjadi orang sukses. Seperti halnya pohon tekokak yang bisa berbuah tomat, mereka juga bisa menjadi anak petani yang berprofesi sebagai manajer, direktur, bahkan menteri sekalipun." tuturnya.

Menurut Marjuki, pembelajaran berkarakter harus diintegrasikan dengan mata pelajaran yang ada, Jadi bukan sebuah mata pelajaran tersendiri. "Seperti halnya saya, para guru saat ini ditantang untuk mencari nilai di balik pembelajaran formal. Anak SD itu butuh contoh konkret yang mudah sehingga pemahaman lebih gampang ditanamkan." katanya.Pendidikan karakter yang dilakukan Guru Juki bukan sekadar wacana atau teori seperti yang sering dilakukan para pejabat negeri Ini. Dia telah melakukannya secara riil, tanpa pamrih. Dari, dia kini mulai menuai hasilnya. (Ichwan Chasan!)

Categories:

Leave a Reply

Mohon masukannya,, semoga bisa lebih membangun..
Terima Kasih...